Di buat untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah Perekonomian Indonesia
Disusun Oleh
:
MITHA
FILANDARI
(24212612)
1EB24
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
ATA 2013
Kata
Pengantar
Puji syukur
penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat kuasa-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah “Faktor yang
Menyebabkan Terjadinya Pengangguran Terdidik” dengan baik.
Penulisan
makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Softskill mata kuliah Perekonomian
Indonesia dan sesuai dengan judulnya makalah ini bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai pengangguran terdidik dan penyebabnya sehingga diharapkan
kita sebagai mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya dan mahasiswa pada umumnya lebih
membuka pikiran kita dan merubah cara pandang kita mengenai hal yang akan
dilakukan setelah lulus dari pendidikan tinggi, mencari pekerjaan atau membuka
lapangan kerja kita sendiri.
Sehubungan
dengan selesainya penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen Perekonomian Indonesia yang telah berbagi ilmu kepada para
mahasiswanya serta berbagai pihak yang telah membantu dalam penyediaan
informasi. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para pembaca, kritik dan saran Anda di tunggu agar
menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Bekasi,
Mei 2013
Penulis
Abstrak
Pengangguran Terdidik
adalah seseorang yang telah lulus dari perguruan tinggi negeri atau swasta dan
ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Angka
pengangguran pemuda terdidik mencapai 47,81 persen dari total angka
pengangguran nasional. Untuk itulah diperlukan berbagai macam upaya untuk mengurangi
jumlah pengangguran terdidik. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi
mahasiswa menjadi seorang wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan
jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana
akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan
pekerjaan. Oleh karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor
yang paling dominan memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha. Hasil penelitian
mengatakan bahwa ada 3 faktor paling dominan dalam memotivasi sarjana
menjadi wirausahawan yaitu faktor kesempatan, faktor kebebasan,
faktor kepuasan hidup.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pertumbuhan
pencetakan sarjana belum sebanding dengan lapangan kerja yang dihasilkan.
Setiap tahun perguruan tinggi yang meluluskan sarjana (S1) terus meningkat
jumlahnya. Secara kuantitas lulusan SI dari waktu ke waktu kian membengkak,
sementara mereka yang langsung diterima bekerja sangat sedikit akibatnya banyak
sarjana menganggur pascalulus. Artinya,
secara kualitas lulusan perguruan tinggi belum lah menjamin sukses dapat
bekerja di negeri ini. Dulu, pengangguran identik dengan minimnya
pendidikan. Namun kini, angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 47,81
persen dari total angka pengangguran nasional. Lulusan perguruan tinggi menjadi
pengangguran terdidik tertinggi. Perkiraan tingkat pengangguran di level 5,8-
6,1 persen pada 2013 cukup realistis dengan asumsi pertumbuhan ekonomi
dikisaran 6,8-7,2 persen dimana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat
menciptakan lebih dari 350.000 kesempatan kerja. Pada 2013 tercipta 2,5 - 2,7
juta angkatan kerja baru maka perlu adanya upaya yang harus dilaksanakan untuk
menampung sekian juta angkatan kerja baru tersebut agar tidak menambah
banyaknya daftar pengangguran di Indonesia. Salah satunya dengan mengubah pola
pikir mahasiswa yang selalu ingin menjadi pekerja/pegawai. Setelah lulus
kuliah, kita tidak harus mencari pekerjaan melainkan bisa membuat lapangan
pekerjaan sendiri melalui wirausaha. Hal ini lah yang dapat mengurangi adanya
pengangguran terdidik.
1.2. Maksud
dan Tujuan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menginginkan para pembaca agar :
a. Dapat
mengetahui definisi dari pengangguran dan pengangguran terdidik.
b. Mengetahui
penyebab tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia.
c. Mengetahui
hubungan antara mutu pendidikan di Indonesia dengan jumlah pengangguran
terdidik.
d. Mengetahui
berbagai kendala dalam pendidikan tinggi.
e. Mengetahui
peranan pendidikan tinggi dalam memotivasi mahasiswa menjadi wirausahawan.
f. Mengetahui
berbagai macam upaya yang dapat dilakukan guna menumbuhkembangkan kewirausahaan
di kalangan mahasiswa.
1.3. Metode
Penelitian
Penulisan
makalah ini didasarkan pada berbagai macam sumber informasi di internet,
seperti website, blog, dan surat kabar.
1.4. Rumusan
Masalah
1.4.1. Apa yang dimaksud dengan pengangguran dan pengangguran terdidik ?
1.4.2. Mengapa jumlah pengangguran terdidik di Indonesia cukup tinggi ?
1.4.3. Bagaimana
mutu pendidikan di Indonesia terkait banyaknya pengangguran terdidik ?
1.4.4. Apa saja kendala yang mendasar pada pendidikan tinggi di
Indonesia?
1.4.5. Bagaimana
peran pendidikan tinggi dalam memotivasi mahasiswa menjadi wirausahawan?
1.4.6. Bagaimana
upaya menumbuhkembangkan kewirausahaan di kalangan mahasiswa?
1.5. Landasan
Teori
Menurut
Menakertrans, Pengangguran
adalah orang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu
usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan. Berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS),
pada Februari 2012, TPT untuk tingkat diploma 7,5 persen dan sarjana 6,95
persen. Jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6
juta orang, dengan TPT sebesar 6.32 persen. Kemungkinan sarjana menganggur
setiap tahun akan mengalami peningkatan yang signifikan. Oleh karena itu, pihak
perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor yang paling dominan memotivasi
mahasiswa dalam berwirausaha. Hasil penelitian mengatakan bahwa ada 3 faktor
paling dominan dalam memotivasi sarjana menjadi wirausahawan yaitu faktor
kesempatan, faktor kebebasan, faktor kepuasan hidup.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Pengangguran dan Pengangguran Terdidik
Pengangguran
atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama
sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu,
atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari
kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu
menyerapnya.
Pengangguran terdidik adalah seorang
yang telah lulus pendidikan dan ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya. Para penganggur terdidik biasanya dari kelompok masyarakat
menengah keatas yang memungkinkan adanya jaminan kelangsungan hidup meski
menganggur. Pengangguran terdidik sangat berkaitan dengan masalah pendidikan di
Negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu
pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas dan pandangan masyarakat. Pada
masyarakat yang sedang berkembang, pendidikan dipersiapkan sebagai sarana untuk
peningkatan kesejahteraan melalui pemanfaatan kesempatan kerja yang ada. Dalam
arti lain tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa
pendidikan.
2.2. Faktor
yang Menyebabkan Banyaknya Pengangguran Terdidik di Indonesia
Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya
pengangguran terdidik adalah sebagai berikut:
1.
Ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja
(sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi
permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis
pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus.
2.
Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja terdidik
yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja
di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil).
4.
Budaya malas juga sebagai salah satu factor penyebab tingginya angka
pengangguran sarjana di Indonesia.
Selain
itu, peningkatan jumlah pengangguran intelektual di Indonesia juga dinilai
akibat dua faktor. Pertama, karena kompetensi mahasiswa yang kurang. Kedua,
jumlah lapangan pekerjaan di Indonesia memang tidak terlalu banyak. “Sistem
pendidikan di Indonesia yang terlalu berorientasi ke bidang akademik juga
menjadi masalah,” kata Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel Rosyid,
Senin (3/12) memberikan penilaiannya.
Menurut
dia, kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik. Hasil akhirnya
membuat mental sarjana hanya mencari kerja. Mereka tidak memikirkan cara untuk
menciptakan lapangan kerja sendiri. “Coba kalau pendidikan vokasi diperbanyak,
jumlah pengangguran intelektual tidak bakal sebanyak sekarang,” ujar Daniel.
Ia
menilai, kurikulum pendidikan memang tidak selalu cocok dengan tuntutan dunia
kerja. Namun Daniel menuding faktor utama lebih pada banyaknya jurusan sosial
yang dibuka di sebuah universitas. Adapun pendirian politeknik maupun institut
rasionya dibanding universitas sangat kecil.
Padahal
lulusan politeknik maupun institut sangat dibutuhkan kalangan industri.
“Masalahnya banyak kampus yang menjual ijazah dengan mudahnya tanpa
memperhatikan kualitas lulusan,” kata Daniel.
Guru
besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) itu menyarankan, ke
depannya pemerintah diharapkan untuk meningkatkan jumlah pendidikan vokasional.
Cara itu dinilai Daniel sangat efektif sebab setidaknya bakal melahirkan
lulusan yang memiliki kemampuan khusus sebelum terjun ke dunia kerja.
“Kurangi
sarjana akademik, dan perbanyak sarjana yang memiliki skill. Ini cara tercepat
mengurangi jumlah pengangguran terdidik.”
2.3. Upaya
dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia
Dalam pertemuannya dengan
Kabid Pemuda dan Olahraga Kabupaten situbondo, Drs. Budi Hartono mengulas
bahwa Dewasa ini Sumber Daya Manusia dituntut mampu
berkompetisi dalam dunia global. Membangun sumber daya manusia
berkualitas tentu merupakan suatu tantangan tersendiri. Akhir-akhir ini bangsa
Indonesia dihadapkan pada kondisi sangat terpuruknya mutu pendidikan, walaupun
tidak dapat kita pungkiri dilain sisi terdapat beberapa anak bangsa berhasil
mencetak prestasi yang membanggakan bagi kita . Tentunya kita tidak dapat
berpuas diri dengan hanya mengandalkan beberapa orang saja dari sekian ratus
juta jiwa anak bangsa yang hidup di republik ini dalam mencetak berbagai
prestasi berkaliber dunia.
Kita hidup dalam dunia yang penuh perubahan. Jika kita tidak mampu mengelola perubahan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi kita maka dengan sendirinya kita akan tergilas didalam perubahan itu. Perubahan terjadi dimana mana, termasuk dalam dunia pendidikan kita.Bagi negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia saat ini sedang melakukan proses pembangunan di segala bidang. Untuk melaksanakan pembangunan itu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Satu-satunya lembaga yang mampu mencetak Sumber Daya Manusia ( SDM ) berkualitas adalah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan akan mampu mencetak SDM yang berkualitas manakala sekolah mampu mengelola pendidikan dengan cara profesional,sedangkan pengelolaan pendidikan secara profesional akan terwujud manakala didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional pula. Kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan sungguh merupakan tantangan yang tidak ringan. Pemerintah sudah cukup serius untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai cara antara lain dengan program Ujian Nasional,Akreditasi Sekolah,serta Sertifikasi bagi guru. Jika kita baru berpikir bahwa kita harus berubah, sesungguhnya kita belum terlambat asal kita segera berbuat . Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diatasi. Mutu pendidikan yang terpuruk di negeri ini harus kita tekan. Setiap lembaga pendidikan yang ada di republik ini memiliki tanggung jawab besar terhadap mutu pendidikan yang dimulai dari proses pendidikan itu sendiri dan berakhir pada hasil pendidikan yang dicapai( Output).
Kita hidup dalam dunia yang penuh perubahan. Jika kita tidak mampu mengelola perubahan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi kita maka dengan sendirinya kita akan tergilas didalam perubahan itu. Perubahan terjadi dimana mana, termasuk dalam dunia pendidikan kita.Bagi negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia saat ini sedang melakukan proses pembangunan di segala bidang. Untuk melaksanakan pembangunan itu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Satu-satunya lembaga yang mampu mencetak Sumber Daya Manusia ( SDM ) berkualitas adalah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan akan mampu mencetak SDM yang berkualitas manakala sekolah mampu mengelola pendidikan dengan cara profesional,sedangkan pengelolaan pendidikan secara profesional akan terwujud manakala didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional pula. Kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan sungguh merupakan tantangan yang tidak ringan. Pemerintah sudah cukup serius untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai cara antara lain dengan program Ujian Nasional,Akreditasi Sekolah,serta Sertifikasi bagi guru. Jika kita baru berpikir bahwa kita harus berubah, sesungguhnya kita belum terlambat asal kita segera berbuat . Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diatasi. Mutu pendidikan yang terpuruk di negeri ini harus kita tekan. Setiap lembaga pendidikan yang ada di republik ini memiliki tanggung jawab besar terhadap mutu pendidikan yang dimulai dari proses pendidikan itu sendiri dan berakhir pada hasil pendidikan yang dicapai( Output).
Program Bupati tersebut merupakan upaya
menghilang disparitas kualitas pendidikan yang dirasakan selama ini, sejalan
dengan Renstra Kemendikbud, bahwa pada periode 2010-2014, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan visi Terselenggaranya Layanan Prima
Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif. Insan
Indonesia cerdas komprehensif adalah insan yang cerdas spiritual, cerdas
emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Cerdas Spiritual memiliki makna bahwa siswa diharapkan mampu beraktualisasi diri melalui
olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak
mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Cerdas emosional dan sosial : cerdas emosional memiliki makna bahwa siswa mampu
beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan
apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya,serta memiliki
kompetensi untuk mengekspresikannya sedangkan cerdas sosial memiliki
makna agar siswa memiliki kemampuan beraktualisasi diri melaluiinteraksi sosial
dengan cara (a) membina dan memupuk hubungan timbal
balik;(b)demokratis;(c)empati dan simpati;menghargai kebhinnekaan dalam
bermasyarakat dan bernegara;berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan
kewajiban sebagai warga negara.
Cerdas Intelektual memiliki makna bahwa siswa diharapkan mampu beraktualisasi diri melalui
olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi serta menjadi insan intelektual yang kritis,kreatif,inovatif,dan
imajinatif.
Cerdas Kinestetis memiliki makna bahwa siswa diharapkan mampu beraktualisasi diri melalui
olahraga untuk mewujudkan insan yang
sehat,bugar,berdayatahan,sigap,terampil,dan trenginas.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan lima misi yang biasa disebut lima (5) K, yaitu; ketersediaan layanan pendidikan; keterjangkauan layanan pendidikan; kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; kesetaraan memperoleh layanan pendidikan;kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan lima misi yang biasa disebut lima (5) K, yaitu; ketersediaan layanan pendidikan; keterjangkauan layanan pendidikan; kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; kesetaraan memperoleh layanan pendidikan;kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.
Dengan Pilar 5K ini akan
membangun tembok-tembok kebijakan pendidikan, sehingga sistem pendidikan akan
berkembang menjadi sesuatu bangunan yang kokoh dengan arsitektur
bangunan yang responship terhadap dinamika perkembangan ilmu
pengetahuan, serta mengembangkan masyarakat yang lebih progresif.” Implementasi pilar 5K merupakan wujud dari
pelayanan prima serta sebagai bentuk pengabdian pemerintah kepada masyarakat. .
Pilar Ketersediaan
merefleksikan jaminan, bahwa layanan pendidikan harus tersedia bagi semua anak
usia sekolah,dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi .
Pilar
Keterjangkauan mempunyai
dua makna, yakni Keterjangkauan secara ekonomis
(affordable), dan Keterjangkauan secara geografis (reacheable).
Pilar Kualitas/Mutu pendidikan memang menjadi salah satu kebijakan pendidikan pada
periode 2010 – 2014,secara luas mutu dapat diartikan sebagai
agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan.
Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam
pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan hasil belajar yang
menyenangkan dan memberikan kenikmatan kepada pelanggan.
Pilar Kesetaraan memiliki makna bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kesetaraan dalam
memperoleh pendidikan berkualitas dengan mdmperhatikan keberagaman latar
belakang sosial-budaya, ekonomi, geografi, gender, dan sebagainya.
Pilar Kepastian
merupakan komitmen pemerintah untuk menjamin bahwa peserta didik dapat memilih
jenis dan jalur,serta jenjang pendidikan yang sesuai dengan potensi akademis,
minat dan bakatnya.
2.4. Kendala
yang Mendasar pada Pendidikan Tinggi di Indonesia
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi
adalah problem relevansi dan mutu yang belum menggembirakan. Pendidikan tinggi
belum bisa menjadi faktor penting yang mampu melahirkan enterpreneur dengan
orientasi job creating dan kemandirian. Pengangguran terdidik dari hasil
pendidikan terus bertambah, problem pengabdian masyarakat dimana perguruan
tinggi tersebut berada dirasa kurang responsif, dan berkontribusi terhadap
problem masyarakat. Perguruan Tinggi juga belum sepenuhnya mampu melahirkan
lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkhisme intra dan
inter-kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan, banyak kita jumpai terjadinya
demo-demo yang bersifat anarkhis yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Tentu
banyak juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah ini lebih
bergema dibanding deretan prestasi-prestasi.
Melihat hal ini, kita selalu dituntut untuk mencari akar
masalahnya. Apakah akar masalahnya berada pada kurikulum dan literatur yang
diberikan yang tidak terkoordinasi, akreditasi kelembagaan yang tidak terukur,
tenaga pendidik yang belum terakreditasi, atau masalah lainnya. Dalam hal ini,
setidaknya kita mencatat berbagai kendala mendasar yang ada dalam dunia
pendidikan tinggi yaitu: Pertama,masih
rendahnya kualitas pendidik. Masalah ini merupakan persoalan krusial yang harus
segera diatasi, karena akan berdampak signifikan terhadap lulusan yang
dihasilkan. Salah satu yang akan terdampak adalah indeks pembangunan manusia
(IPM) Indonesia yang selama ini dinilai masih rendah. Terkait dengan ini,
dibutuhkan perhatian yang serius dalam rangka meningkatkan kualitas pendidik. Para
dosen harus secara berkelanjutan melakukan update kemampuan dan ilmunya, sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berjalan. Kedua,belum memadainya fasilitas pendidikan.
Hingga kini masih banyak pendidikan tinggi yang belum memiliki fasilitas
pendidikan yang lengkap, sehingga proses pembelajaran dan hasil lulusan menjadi
kurang optimal. Perlu diingat bahwa tanpa fasilitas yang memadai dan relevan
dengan kebutuhan, maka hasil pendidikan tidak akan optimal. Hal ini pada
umumnya terjadi di berbagai fakultas yang membutuhkan alat peraga dan alat
praktek dalam proses pembelajaran seperti fakultas kedokteran, fakultas teknik,
fakultas peternakan, fakultas pertanian, dan lain sebagainya. Ketiga, masalah efektivitas pendidikan.
Efektivitas pendidikan terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia yang
dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Namun kenyataan yang sangat memprihatinkan
adalah, bahwa di Indonesia, hingga kini masih banyak penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang belum efektif, sehingga hanya sedikit pendidikan tinggi Indonesia
yang masuk pada ranking atas pendidikan tinggi di tingkat dunia dan bahkan
tingkat Asia. Kenyataan ini menunjukkan betapa parahnya kualitas pendidikan
tinggi di kebanyakan
pendidikan
tinggi Indonesia, dan tentu saja hal ini berimplikasi pada sumber daya manusia
yang dihasilkan. Keempat, mahalnya
biaya pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, hingga kini masyarakat
masih harus menanggung banyak biaya, sehingga hanya golongan masyarakat mampu
yang dapat membiayai pendidikan anaknya di jenjang pendidikan ini. Meskipun
Pemerintah menyediakan beasiswa untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu,
namun jumlahnya hanya sedikit. Dampak khir dari kenyataan ini adalah
ketidakadilan dalam memperoleh hak atas pendidikan. Kelima,masalah pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik terkait
dengan kualitas pendidikan tinggi. Banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang
tidak dapat segera memasuki dunia kerja, apalagi menciptakan lapangan kerja
sendiri, merupakan permasalahan krusial dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan, pengangguran terdidik di Indonesia terus mengalami
peningkatan sejak beberapa tahun terakhir,
sementara
jumlah penganggur tidak terdidik makin turun. Dengan me-lonjaknya jumlah
pengangguran intelektual maka tugas pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja
juga akan semakin susah. Dan keenam,
link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan akan sumberdaya manusia
di lapangan kerja. Pendidikan tinggi bagai berjalan dengan iramanya sendiri,
sementara kondisi riil di lapangan kurang diperhatikan secara matang. Akhirnya
pendidikan tinggi tidak mampu menjadi faktor yang penting dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan tinggi belum mampu sepenuhnya
mampu melahirkan sumberdaya manusia yang layak diterima di lapangan kerja yang
ada, dan pendidikan tinggi juga belum mampu menghasilkan entrepreneur yang
memiliki keberanian dan kemandirian.
Anggota Dewan mencatat bahwa permasalahan pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi, memang cukup banyak dan kompleks. Sehingga, dengan
melihat berbagai permasalah pokok diatas, termasuk masalah legislasi dan
implementasinya, Dewan mengusulkan upaya yang kuat untuk membentuk RUU tentang Pendidikan
Tinggi. Dewan berpendapat bahwa, penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak
dapat dilepaskan dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Dengan adanya Undang-undang, tentu saja diharapkan bahwa
dunia pendidikan tinggi dapat menghadapi perkembangan globalisasi yang makin
mengutamakan basis ilmu pengetahuan dan peran strategis dalam memajukan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Selain itu, dengan adanya UU
Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan yang menjadi kendala dalam
mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.
2.5. Peran Pendidikan Tinggi Dalam
Memotivasi Mahasiswa Menjadi Wirausahawan
Tingginya
angka pengangguran yang ditamatkan pendidikan tinggi di Indonesia mengalihkan
perhatian kita untuk memburu model pendidikan macam apa yang cocok saat ini
diterapkan di perguruan tinggi. Untuk menjawab persoalan tersebut di setiap
perguruan tinggi saat ini sudah mulai mirintis program pendidikan kewirausahan.
Program
Pengembangan Kewirausahaan dilaksanakan untuk menumbuhkembangkan jiwa
kewirausahaan pada para mahasiswa dan juga staf pengajar serta diharapkan
menjadi wahana pengintegrasian secara sinergi antara penguasaan sains dan
teknologi dengan jiwa kewirausahaan. Selain itu diharapkan pula hasil-hasil
penelitian dan pengembangan tidak hanya bernilai akademis saja, namum mempunyai
nilai tambah bagi kemandirian perekonomian bangsa. Kewirausahaan, dapat
didefinisikan sebagai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan (peluang)
bisnis serta kemampuan mengoptimalisasikan sumberdaya dan mengambil tindakan
serta bermotivasi tinggi dalam mengambil resiko dalam rangka mensukseskan
bisnisnya.
Peranan
perguruan tinggi dalam memotivasi mahasiswa menjadi seorang wirausahawan muda sangat
penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan
dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan
menambah jumlah lapangan pekerjaan. Pertanyaannya adalah bagaimana pihak
perguruan tinggi dapat mencetak wirausahawan muda. Pendidikan kewirausahaan di
Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia
pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan
penumbuhan sikap dan perilaku kewirausahaan sasaran didik, baik di
sekolah-sekolah menengah, maupun di pendidikan tinggi. Orientasi mereka, pada
umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja.
Selain
itu pula, secara historis masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi
dari penjajah Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar
anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab dalam
pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang
memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat.
Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakat,
memiliki persepsi yang sama terhadap harapan ouput pendidikan.
Berbeda
dengan di negara maju, misalkan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat
sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan kejuruan. Di mana
Pendidikan kewiraushaan yang dikembangkan diarahkan pada usaha memperbaiki
posisi Amerika dalam persaingan ekonomi dan militer. Pendidikan kewirausahaan
khususnya yang berkenaan dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat
dilakukan pada setiap level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah, maupun di perguruan tinggi.
Sebagai
negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal
ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum
menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh
sekolah/PT masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang
konvensional. Mengapa hal itu dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan
dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak
kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat,
misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang
tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.
Sebagian
besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan suatu negara adalah para
wirausahawan. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang
berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan
mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan
sumber daya yang diperlukan. Dewasa ini banyak kesempatan untuk berwirausaha
bagi setiap orang yang jeli melihat peluang bisnis tersebut. Karier
kewirausahaan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat serta memberikan banyak
pilihan barang dan jasa bagi konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Meskipun
perusahaan raksasa lebih menarik perhatian publik dan sering kali menghiasi
berita utama, bisnis kecil tidak kalah penting perannya bagi kehidupan sosial
dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Oleh
karena itu pemerintah mengharapkan para mahasiswa mempunyai kemampuan dan
keberanian untuk mendirikan bisnis baru meskipun secara ukuran bisnis termasuk
kecil, tetapi membuka kesempatan pekerjaan bagi banyak orang. Pihak perguruan
tinggi bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan dalam melihat
peluang bisnis serta mengelola bisnis tersebut serta memberikan motivasi untuk
mempunyai keberanian menghadapi resiko bisnis. Peranan perguruan tinggi dalam
memotivasi para mahasiswanya menjadi young entrepreneurs merupakan
bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Menurut
Thomas Zimmerer dalam Kirschheimer, DW, ada 8 faktor pendorong
pertumbuhan kewirausahaan antara lain sebagai berikut:
1. Wirausahawan Sebagai Pahlawan.
Faktor
di atas sangat mendorong setiap orang untuk mencoba mempunyai usaha sendiri
karena adanya sikap masyarakat bahwa seorang wirausaha dianggap sebagai
pahlawan serta sebagai model untuk diikuti. Sehingga status inilah yang
mendorong seseorang memulai usaha sendiri.
2. Pendidikan
Kewirausahaan.
Pendidikan
kewirausahaan sangat populer di banyak akademi dan universitas di Amerika.
Banyak mahasiswa semakin takut dengan berkurangnya kesempatan kerja yang
tersedia sehingga mendorong untuk belajar kewirausahaan dengan tujuan setelah
selesai kuliah dapat membuka usaha sendiri.
3.
Faktor ekonomi dan Kependudukan.
Dari
segi demografi sebagian besar entrepreneur memulai bisnis antara umur 25 tahun
sampai dengan 39 tahun. Hal ini didukung oleh komposisi jumlah penduduk di
suatu negara, sebagian besar pada kisaran umur diatas. Lebih lagi, banyak orang
menyadari bahwa dalam kewirausahaan tidak ada pembatasan baik dalam hal umur,
jenis kelamin, ras, latar belakang ekonomi atau apapun juga dalam mencapai
sukses dengan memiliki bisnis sendiri.
4. Pergeseran ke Ekonomi
Jasa
Di
Amerika pada tahun 2000 sektor jasa menghasilkan 92% pekerjaan dan 85% GDP
negara tersebut. Karena sektor jasa relatif rendah investasi awalnya sehingga
untuk menjadi populer di kalangan para wirausaha dan mendorong wirausaha untuk
mencoba memulai usaha sendiri di bidang jasa.
5. Kemajuan Teknologi.
Dengan
bantuan mesin bisnis modern seperti komputer, laptop, notebook, mesin fax,
printer laser, printer color, mesin penjawab telpon, seseorang dapat bekerja
dirumah seperti layaknya bisnis besar. Pada zaman dulu, tingginya biaya
teknologi membuat bisnis kecil tidak mungkin bersaing dengan bisnis besar yang
mampu membeli alat-alat tersebut. Sekarang komputer dan alat komunikasi
tersebut harganya berada dalam jangkauan bisnis kecil.
6. Gaya Hidup Bebas.
Kewirausahaan
sesuai dengan keinginan gaya hidup orang Amerika yang menyukai kebebasan dan
kemandirian yaitu ingin bebas memilih tempat mereka tinggal dan jam kerja yang
mereka sukai. Meskipun keamanan keuangan tetap merupakan sasaran penting bagi
hampir semua wirausahawan, tetapi banyak prioritas lain seperti lebih banyak
waktu untuk keluarga dan teman, lebih banyak waktu senggang dan lebih besar
kemampuan mengendalikan stress hubungan dengan kerja. Dalam penelitian yang
telah dilakukan bahwa 77% orang dewasa yang diteliti, menetapkan penggunaan
lebih banyak waktu dengan keluarga dan teman sebagai prioritas pertama.
Menghasilkan uang berada pada urutan kelima dan membelanjakan uang untuk
membeli barang berada pada urutan terakhir.
7. E-Commerce dan The World-Wide-Web
Perdagangan
on-line tumbuh cepat sekali, sehingga menciptakan perdagangan banyak kesempatan
bagi wirausahawan berbasis internet atau website. Data menunjukkan bahwa 47%
bisnis kecil melakukan akses internet sedangkan 35% sudah mempunyai website
sendiri. Faktor ini juga mendorong pertumbuhan wirausahawan di beberapa negara.
8. Peluang Internasional.
Dalam
mencari pelanggan, bisnis kecil kini tidak lagi dibatasi dalam ruang lingkup
Negara sendiri. Pergeseran dalam ekonomi global yang dramatis telah membuka
pintu ke peluang bisnis yang luar biasa bagi para wirausahawan yang bersedia
menggapai seluruh dunia. Kejadian dunia seperti runtuhnya tembok Berlin,
revolusi di negara-negara baltik Uni Soviet dan hilangnya hambatan perdagangan
sebagai hasil perjanjian Masyarakat Ekonomi Eropa, telah membuka sebagian besar
pasar dunia bagi para wirausahawan. Peluang Internasional akan terus berlanjut
dan tumbuh dengan cepat pada abad ke 21.
Faktor
yang mendukung pembahasan ini adalah faktor Pendidikan Kewirausahaan. Di luar
negeri banyak universitas mempunyai suatu program khusus dalam mempelajari
bidang kewirausahaan, sehingga ada suatu embrio young entrepreneurs.Peranan
perguruan tinggi hanya sekedar menjadi fasilitator dalam memotivasi,
mengarahkan dan penyedia sarana prasarana dalam mempersiapkan sarjana yang
mempunyai motivasi kuat, keberanian, kemampuan serta karakter pendukung dalam
mendirikan bisnis baru.
Peranan
perguruan tinggi dalam memotivasi mahasiswanya menjadi wirausahawan muda
sangatlah penting. Hal ini dilihat dari beberapa pembahasan bidang
kewirausahaan yang telah dikemukakan diatas. Masalahnya adalah bagaimana pihak
perguruan tinggi mampu melakukan peranannya dengan benar dan mampu menghasilkan
sarjana yang siap berwirausaha. Peranan pihak perguruan tinggi dalam
menyediakan suatu wadah yang memberikan kesempatan memulai usaha sejak masa
kuliah sangatlah penting, sesuai dengan pendapat Thomas Zimmerer bahwa memulai
bisnis, bisa pada saat masa kuliah berjalan, akan tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana peranan perguruang tinggi dalam hal memotivasi mahasiswanya
untuk tergabung dalam wadah tersebut. Karena tanpa memberikan gambaran secara
jelas apa saja manfaat berwirausaha, maka besar kemungkinan para mahasiswa
tidak ada yang termotivasi untuk memperdalam keterampilan berbisnisnya.
Oleh
karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor yang paling
dominan memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha. Hasil penelitian mengatakan
bahwa ada 3 faktor paling dominan dalam memotivasi sarjana menjadi
wirausahawan yaitu faktor kesempatan, faktor kebebasan, faktor
kepuasan hidup. Ketiga faktor itulah yang membuat mereka menjadi
wirausahawan. Tulisan ini sangat membantu pihak perguruan tinggi dalam
memberikan informasi kepada para mahasiswanya, bahwa menjadi wirausahawan akan
mendapatkan beberapa kesempatan, kebebasan dan kepuasan hidup. Proses
penyampaian ini harus sering dilakukan sehingga mahasiswa semakin termotivasi
untuk memulai berwirausaha. Sebab banyak mahasiswa merasa takut menghadapi
resiko bisnis yang mungkin muncul yang membuat mereka membatalkan rencana bisnis
sejak dini.
Motivasi
yang semakin besar, ada pada mahasiswa menyebabkan wadah yang disiapkan oleh
pihak perguruan tinggi tidak sia-sia, melainkan akan melahirkan wirausahawan
muda yang handal. Dengan semakin banyaknya mahasiswa memulai usaha sejak masa
kuliah, maka besar kemungkinan setelah lulus akan melanjutkan usaha yang sudah
dirintisnya. Sehingga semakin berkurangnya jumlah pengangguran di negara kita,
akan tetapi sebaliknya semakin bertambahnya jumlah lapangan pekerjaan yang
dibuka.
2.6. Upaya Menumbuhkembangkan Kewirausahaan di Kalangan Mahasiswa
a. Upaya Menumbuhkan Minat dan Motivasi
Berwirausaha
Semakin
maju suatu negara semakin banyak orang yang terdidik, dan banyak pula orang
yang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha. Pembangunan
akan lebih berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka
lapangan kerja karena kemampuan pemerintah sangat terbatas. Oleh sebab itu,
wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu
wirausaha itu sendiri. Sekarang ini kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah
wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat,
sehingga upaya pembangunan wirausaha di Indonesia merupakan persoalan mendesak
bagi suksesnya pembangunan nasional.
Minat
berwirausaha perlu dan harus ditumbuhkembangkan di kalangan masyarakat termasuk
mahasiswa karena memiliki manfaat banyak sekali antara lain: (1) menambah daya
tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan
pendapatan masyarakat; (2) meningkatkan produktivitas, dengan menggunakan
metode baru, maka wirausaha dapat meningkatkan produktivitasnya; (3)
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan pekerjaan. Wirausaha serta
usaha kecil memberikan lapangan kerja yang cukup besar sehingga dapat memberi
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi; (4) menciptakan teknologi baru dan
menciptakan produk dan jasa baru. Banyak wirausaha yang memanfaatkan peluang
dengan menciptakan produk atau jasa baru. Kalaupun mereka masih mempertahankan produk
lama, produk tersebut merupakan produk yang sudah diperbaiki; (5) mendorong
inovasi, meskipun biasanya mereka tidak menciptakan sesuatu yang baru, tetapi
mereka dapat mengembangkan metode atau produk yang inovatif.
Salah
satu upaya untuk mewujudkan kemandirian dan ketangguhan ekonomi nasional adalah
melalui pengembangan, pemantapan sikap, perilaku dan kemampuan serta minat
berwirausaha. Dengan berkembangnya minat dan lahirnya wirausaha-wirausaha
nasional akan menjadi penggerak roda perekonomian nasional serta memacu
pertumbuhan ekonomi nasional yang pada gilirannya akan memperkuat struktur
perekonomian nasional. Upaya ini perlu didukung oleh semua kalangan baik unsur
pemerintah, masyarakat termasuk mahasiswa maupun dunia usaha secara terarah dan
berkesinambungan.
Di Amerika ada budaya keinginan seseorang untuk menjadi bos
sendiri, memiliki peluang individual, menjadi sukses dan menghimpun kekayaan,
ini semua merupakan aspek yang utama dalam mendorong berdirinya kegiatan
kewirausahaan. Di negara lain motivasi utama mendirikan bisnis bukan mencari
uang semata akan tetapi karena faktor lingkungan yang banyak dijumpai berbagai
macam perusahaan, lingkungan semacam ini sangat mendorong pembentukan
kewirausahaan. Dorongan membentuk wirausaha juga datang dari teman pergaulan,
lingkungan famili, dan sahabat. Mereka dapat berdiskusi tentang ide wirausaha,
masalah yang dihadapi dan cara-cara mengatasi masalahnya. Pendidikan formal dan
pengalaman bisnis kecil-kecilan yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi potensi
utama untuk menjadi wirausaha yang berhasil.
Beberapa
motivasi yang mendorong seseorang berwirausaha antara lain: (1) alasan
keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, untuk menjadi kaya, untuk mencari
pendapatan tambahan; (2) alasan sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/status
untuk dapat dikenal dan dihormati, agar dapat bertemu dengan orang banyak; (3)
alasan pelayanan yaitu untuk memberi pekerjaan pada masyarakat, untuk membantu
ekonomi masyarakat, untuk masa depan anak dan keluarga,; (4) alasan pemenuhan
diri, yaitu untuk menjadi atasan mandiri, untuk menghindari ketergantungan pada
orang lain, untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, untuk menjadi lebih
produktif, untuk menggunakan kemampuan pribadi atau berprestasi.
b. Cara
Menumbuhkembangkan Kewirausahaan di kalangan mahasiswa
Menumbuhkembangkan
kewirausahaan di kalangan mahasiswa dapat dilaksanakan melalui:
1. Kurikulum Perguruan Tinggi. Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam kurikulum
perguruan tinggi perlu dimasukkan mata kuliah kewirausahaan pada program studi.
Dengan dicantumkan dalam kurikulum pada program studi, maka secara kurikuler
para mahasiswa dapat belajar tentang berbagai teori dan pengetahuan serta
ketrampilan kewirausahaan yang dapat dijadikan bekal dalam menekuni dan terjun
ke dunia kewirausahaan baik selama menjadi mahasiswa dan terutama setelah
mereka mernyelesaikan studi.
2. Program Belajar Bekerja Terpadu (PBBT)
yaitu suatu program pendidikan yang memadukan belajar dan bekerja dengan cara
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bekerja sebagai layaknya karyawan
dalam dunia kerja (khususnya UKM). Program ini diperuntukkan bagi mahasiswa S1
yang telah selesai semester VI atau lebih, dengan waktu tiga sampai dengan enam
bulan. Dalam program ini mahasiswa bekerja di suatu perusahaan dan mendapat
kompensasi keuangan serta bantuan lainnya seperti transport, pemondokan sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau sponsor. Mahasiswa
peserta program ini jika sudah selesai diberi surat keterangan bekerja dari
perusahaan, dan akan dikembalikan ke perguruan tinggi asal sebelum berakhir
masa programnya jika mahasiswa tersebut melanggar peraturan yang berlaku dalam
perusahaan tempat ia bekerja. Program ini berbeda dengan magang atau praktek
kerja lapangan karena bersifat suka rela dan selektif (mahasiswa mengajukan
permohonan dan menempuh seluruh proses seleksi) dan tidak harus terkait pada
suatu mata kuliah.
Untuk
mengembangkan Program Belajar Bekerja Terpadu perlu pelatihan bagi mahasiswa
oleh Kantor Menteri Negara, Koperasi dan UMKM. Pendanaan pihak ketiga selain
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, misalnya PLN, Telkom, Departemen Sosial.
Disamping itu juga dengan penguatan lembaga pendamping mahasiswa Program
Belajar Bekerja Terpadu.
3. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
sebagai Laboratorium Mahasiswa
Menurut data dari
Disperindagkop DIY jumlah UMKM yang ada di Propinsi ini sekitar 400.000 UMKM
termasuk industri kecil. Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
menghadapi persaingan yang lebih kompetitif, sehingga harus memiliki modal
sebagai berikut: (1) kemauan atau minat. Minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, misalnya berminat
menjadi wirausaha. Dengan minat yang tinggi tersebut maka benturan, halangan
atau juga rintangan yang dialami dapat dikalahkan; (2) keberanian. Keberanian
disini adalah sikap berani untuk memulai merubah pola pandang dan pola pikir
yang akhirnya akan melandasi sikap kuat untuk berwirausaha; (3) kreativitas,
kunci atau modal utama orang yang hendak terjun dalam usaha ini harus kreatif
dan inovatif terhadap hasil produk maupun untuk melangkah ke pemasaran; (4)
semangat. Semangat adalah nafsu untuk bekerja, berjuang dan bertindak atau
melakukan sesuatu yang berlandaskan kekuatan, kegembiraan, serta gairah batin.
Orang yang bersemangat adalah orang yang kuat, berniat untuk mengalahkan
segenap tantangan dan halangan yang menghadang di depannya. Tanpa semangat
tinggi, seseorang yang hendak melaksanakan usaha hanyalah laksana sayur kurang
garam, terasa hambar dalam usahanya; (5) materi (uang). Uang memang hal
yang penting dalam usaha ini, namun jumlahnya yang besar tidak terlalu
dipentingkan dalam usaha khususnya industri kecil maupun UMKM. Keberadaan uang
hanyalah merupakan pelengkap usaha tersebut mengingat modal utama dalam UMKM
adalah : minat, keberanian, kreativitas dan semangat.
Antara UMKM dengan
Perguruan Tinggi saling membutuhkan, sehingga perlu dibangun kerjasama yang
baik. Kebutuhan UMKM terhadap Perguruan Tinggi antara lain: (a) laboratorium.
Dengan adanya laboratorium ini akan mempermudah UMKM mengetahui hasil-hasil
dari produknya, misalnya dari produk Virgin Coconut Oil (VCO), ingin tahu
secepatnya kandungan yang terdapat dalam minyak, berapa asam larutan, asam
kaproat, asam linoleat dan sebagainya. Namun juga sebaliknya, UMKM dapat juga
disebut sebagai laboratoriumnya mahasiswa karena tidak sedikit mahasiswa yang
melakukan praktek di UMKM sebagai contoh Kuliah Kerja Nyata (KKN); (b) skill.
Dalam keberadaannya ternyata UMKM juga sangat membutuhkan tenaga dari Perguruan
Tinggi yang telah terampil membantu mengembangkan produk-produknya.
Perguruan
tinggi juga telah banyak bekerjasama dalam pengembangan UMKM seperti pada
pembuatan VCO, telah di kirim beberapa mahasiswa untuk berlatih membuat minyak
tersebut yang pada waktu itu masyarakat belum banyak mengenal tentang
manfaatnya. Kendalanya adalah kadang-kadang teori dan praktek berbeda. Manfaat
yang dapat dipetik oleh UMKM, diantaranya terjadi kerja sama yang baik dengan
mahasiswa. Banyak Mahasiswa dari luar daerah ikut memasarkan produk, membantu
proses produksi sehingga mendapatkan hasil berkualitas dan melalui penelitian
ilmiah. Mahasiswa juga banyak mendapat manfaatnya karena dapat melakukan
penelitian yang telah tersedia bahan-bahannya tanpa harus mencari sendiri.
BAB 3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengangguran
terdidik adalah seorang yang telah lulus pendidikan dan ingin mendapatkan
pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Pengangguran terdidik sangat
berkaitan dengan masalah pendidikan di Negara berkembang pada umumnya, antara
lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas
dan pandangan masyarakat. Sehingga untuk mengurangi jumlah pengangguran
terdidik perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan minat kewirausahaan
dikalangan mahasiswa, yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Kurikulum Perguruan Tinggi.
2. Program Belajar Bekerja Terpadu (PBBT)
3. Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai Laboratorium Mahasiswa
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar