Kamis, 12 Desember 2013

Konsep Backward Bending Supply di Sektor Tenaga Kerja



Nama       : Mitha Filandari
NPM        : 24212612
Kelas        : SMAK06-3


Masalah tenaga kerja adalah masalah yang sangat kompleks dan besar. Kondisi kerja yang baik, kualitas output yang tinggi, upah yang layak serta kualitas sumber daya manusia adalah persoalan yang selalu muncul dalam pembahasan tentang tenaga kerja disamping masalah hubungan industrial antara pekerja dengan dunia usaha.
Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah pekerja yang dikehendaki oleh pengusaha untuk dipekerjakan. Sehingga permintaan tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang diperkerjakan seorang pengusaha pada setiap kemungKinan tingkat upah dalam jangka waktu tertentu.  Miller & Meiners (1993), berpendapat bahwa permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh nilai marjinal produk (Value of Marginal Product, VMP). Nilai marjinal produk (VMP) merupakan perkalian antara Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product, MPP) dengan harga produk yang bersangkutan. Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product, MPP) adalah kenaikan total produk fisik yang bersumber dari penambahan satu unit input variabel (tenaga kerja). Ini berarti kurva VMP untuk tenaga kerja merupakan kurva permintaan tenaga kerja -jangka pendek- dari perusahaan yang bersangkutan yang beroperasi dalam pasar persaingan sempurna.

Gambar 1.
Kuantitas Tenaga Kerja Yang Memaksimumkan Laba

Kuantitas tenaga kerja yang memaksimalkan laba perusahaan terletak pada titik perpotongan antara garis upah (Tingkat upah yang berlaku untuk pekerja terampil yang dibutuhkan perusahaan) dan kurva VMP perusahaan.

Penawaran tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu tertentu.  Dalam teori klasik sumberdaya manusia (pekerja) merupakan individu yang bebas mengarnbil keputusan untuk bekerja atau tidak. Bahkan pekerja juga bebas untuk menetapkan jumlah jam kerja yang diinginkannya. Teori ini didasarkan pada teori tentang konsumen, dimana setiap individu bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan dengan kendala yang dihadapinya.
Menurut G.S Becker (1976), Kepuasan individu bisa diperoleh melalui konsumsi atau menikmati waktu luang (leissure). Sedang kendala yang dihadapi individu adalah tingkat pendapatan dan waktu. Bekerja sebagai kontrofersi dari leisure menimbulkan penderitaan, sehingga orang hanya mau melakukan kalau memperoleh kompensasi dalam bentuk pendapatan, sehingga solusi dari permasalahan individu ini adalah jumlah jam kerja yang ingin ditawarkan pada tingkat upah dan harga yang diinginkan.
Kombinasi waktu non pasar dan barang-barang pasar terbaik adalah kombinasi yang terletak pada kurva indefferensi tertinggi yang dapat dicapai dengan kendala tertentu. sebagaimana gambar 3, kurva penawaran tenaga kerja mempunyai bagian yang melengkung ke belakang. Pada tingkat upah tertentu penyediaan waktu kerja individu akan bertambah apabila upah bertembah (dariW ke W1). Setelah mencapai upah tertentu (W1), pertambahan upah justru mengurangi waktu yang disediakan oleh individu untuk keperluan bekerja (dari W1 ke WN). Hal ini disebut Backward Bending Supply Curve.
Dengan kata lain, besarnya pengaruh perubahan tingkat upah terhadap perubahan waktu luang (dan waktu kerja) sangat tergantung  pada besarnya efek pendapatan dan efek substitusi. Peningkatan tingkat upah akan mengakibatkan peningkatan jam kerja, apabila  efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan. Sebaliknya, apabila efek pendapatan lebih dominan dibandingkan dengan efek substitusi, maka individu akan berupaya untuk mengurangi waktu kerja dan menikmati lebih banyak waktu luang. Dengan demikian apabila efek pendapatan lebih besar dibandingkan efek substitusi maka akan terjadi backward bending labor supply curve.




Layard dan Walters (1978), menyebutkan bahwa keputusan individu untuk menambah atau mengurangi waktu luang dipengaruhi oleh tingkat upah dan pendapatan non kerja. Adapun tingkat produktivitas selalu berubah-rubah sesuai dengan fase produksi dengan pola mula-mula naik mencapai puncak kemudian menurun.
Semakin besar elastisitas tersebut semakin besar peranan input tenaga kerja untuk menghasilkan output, berarti semakin kecil jumlah tenaga kerja yang diminta. Sedangkan untuk menggambarkan pola kombinasi faktor produksi yang tidak sebanding (Variable proportions) umumnya digunakan kurva isokuan (isoquantities) yaitu kurva yang menggambarkan berbagai kombinasi faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) yang menghasilkan volume produksi yang sama. Lereng isokuan menggamblfncan laju substitusi teknis marginal atau marginal Rate of Technical Substitution atau dikenal dengan istilah MRS. Hal ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara faktor tenaga kerja dan kapital yang merupakan lereng dari kurva isoquant.


Referensi        :

journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/download/618/475

repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../BAB%20II.docx




Tidak ada komentar: